Get paid To Promote at any Location

Rabu, 02 Desember 2009

Swiss Alami Krisis Identitas??

http://www.inilah.com/data/berita/foto/199691.jpg

Jenewa - Siapa sangka, negara toleran dan terbuka seperti Swiss menelurkan referendum yang seolah mengukuhkan minoritas Islam di Eropa. Negara makmur ini alami krisis identitas?

"Referendum itu sebuah bukti bahwa Swiss, seperti beberapa negara Barat lainnya, menghadapi sebuah krisis identitas yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan Islam atau syariah," ujar CEO Cordoba Foundation, Anas Altikitri, yang fokus menjembatani Islam dan Barat, seperti dilansir Al Jazeera, Rabu (2/12).

Bahkan, menurut Altikitri, sikap masyarakat Swiss yang mengejutkan itu tak ada hubungannya dengan sentimen 'takut terhadap Muslim' yang selama ini ditebarkan kalangan konservasi Eropa. Swiss seharusnya mempertanyakan apakah mereka masih menegakkan hak asasi manusia, kebebasan sipil, serta demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi bangsa Eropa.

Pada 29 November lalu, masyarakat Swiss memungut suara untuk sebuah referendum yang melarang pembangunan menara masjid di negara tersebut. Sebanyak 57,5% warga menyetujui referendum yang dimotori partai sayap kanan, Partai Rakyat Swis. Mereka berpendapat menara masjid (minaret) merupakan simbol kebangkitan kekuatan Islam yang bisa mengubah mereka menjadi negara Islam.

Referendum itu tadinya digelar untuk menentang RUU pelarangan pembuatan menara baru di sekitar 200 masjid yang tersebar di negara itu. Namun tindakan itu malah kontroversial, di mana mayoritas masyarakat malah menyetujui RUU yang bahkan ditolak pemerintah. Dari 24 provinsi, hanya empat yang tidak menyetujui referendum tersebut.

"Lalu apa berikutnya? Apakah tinggal menunggu waktu sebelum ada referendum yang melarang Muslim di negara tersebut untuk beribadah. Atau bahkan melarang keberadaan mereka di negara tersebut," lanjut Altikitri.

Ia mempertanyakan keberadaan demokrasi di Swiss. Sebab, tak ada yang harus dikhawatirkan negara itu. Terutama karena mereka, hingga kini, hanya memiliki empat menara masjid.

Demikian pula dengan jumlah penduduk yang sebenarnya tidak suka melihat berdirinya minaret. Ia merasa referendum itu lebih konyol lagi karena ingin mencegah rencana konstruksi minaret.

"Padahal, tak mungkin ada menara masjid baru hingga lima tahun ke depan. Ini memang agak sedikit berlebihan, penduduk berpendidikan ini bisa dengan mudahnya terancam oleh sebuah bentuk bangunan dan menganggapnya sebagai ancaman terhadap budaya, warisan, dan idenditas mereka," ujarnya.

Lain halnya dengan Dosen Ilmu Islam di Oxford University, Inggris, Tariq Ramadan. Menurutnya, penduduk Muslim di Swiss yang tidak sampai 10% itu juga bersalah. Sebab mereka hanya berdiam diri dan berharap cara itu dapat membuat mereka menghindari konflik. Seharusnya, kata Ramadan, Muslim membela kepentingan mereka, terutama demi keberadaan mereka di Barat.

Selama dua dekade terakhir, Islam berhubungan dengan semua debat kontroversial, kekerasan, ekstremisme, kebebasan berpendapat, diskriminasi gender, hingga pernikahan paksa. "Sulit bagi warga biasa untuk menyambut baik keberadaan Muslim sebagai faktor yang positif," paparnya.

Dari 7,5 juta penduduk Swiss, Muslim hanya mencapai 6% atau hanya sekitar 600 ribu saja. Sebagian besar adalah pengungsi dari pecahan Yugoslavia pada 1990-an dan 100 ribu di antaranya berasal atau keturunan Turki. Menurut data pemerintah, hanya 10% dari jumlah itu yang taat menjalankan ibadah mereka dan aktif di masjid.

Sementara itu, referendum Swiss ini juga menuai kecaman dunia internasional. Mulai dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga AS. Demikian pula Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dunia.

Bahkan agama lain seperti Katolik Vatikan dan kelompok Yahudi. Pemerintah Swiss telah mengumumkan mereka tak menyutujui dan kemungkinan menolak referendum tersebut.(inilah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar